Senin, 05 November 2007

HMI Sebagai Gerakan Intelektual

Salah satu kekuatan yang dimiliki Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sejak dilahirkan 5 Februari 1947 lalu, adalah tradisi intelektualitasnya atau kecendekiaannya. Jargon sebagai organisasi gerakan pembaru atau gerakan intelektual melekat dalam diri HMI. Cita-cita menjadikan HMI sebagai ?inetelektual yang ulama, atau ulama yang intelektual,? adalah salah satu misi suci HMI. Ciri gerakan intelektual yang dikembangkan HMI adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan kebajikan, kejujuran dan keadilan, serta penghargaan atas perbedaan pendapat. Atas dasar itulah, sejak HMI dilahirkan di Tanah Air, sikap kritisnya terhadap persoalan kebangsaan, kemahasiswaan dan keislaman, menyatu dalam aktivitasnya sebagai komunitas intelektual (intelectual community ).
Penegasan HMI sebagai gerakan intelektual tertuang dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga HMI yang bertujuan, menjadikan kadernya (Islam) sebagai insan akademis dan pengabdi yang mendorong cita-cita untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur dalam ridho Allah SWT.Tradisi intelektualitas HMI sudah dibuktikan lewat sejarahnya. Dalam perjalanan pendirian HMI yang dipelopori oleh almarhum Lafran Pane, diwarnai pro dan kontra. Sebagian kalangan berpendapat, pendirian HMI dituduh sebagai pemecah-belah mahasiswa, seperti dilontarkan oleh Persyarikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY), sebuah organisasi yang berdiri tahun 1946. Reaksi ini muncul karena PMY berbeda idelogis, yaitu berhaluan komunisme, sedangkan HMI, Islam. Bahkan, setelah HMI berdiri (lebih kurang 14 bulan) reaksi yang sama juga dilontarkan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang didirikan di Jakarta 2 Oktober 1945, dan dari Pelajar Islam Indonesia (PII) yang berdiri di Yogya 4 Mei 1947, yang menyatakan tak perlu mendirikan organisasi kemahasiswaan secara khusus, karena memecah belah mahasiswa.
Menghadapi reaksi tersebut, HMI melancarkan gerakan intelektual dengan mendatangkan penceramah untuk mendiskusikan tentang perlunya gagasan meningkatkan kesadaran ideologi , politik dan organisasi mahasiswa Islam. Tokoh yang diundang antara lain, Ismail Banda MA, Mr Ali Sastroamidjojo dan dosen-dosen Sekolah Tinggi Islam (embrio UII). Dari cerama-ceramah tersebut, hasilnya disebarkan di kalangan mahasiswa dan masyarakat sehingga HMI dengan cepat populer namanya di nusantara. HMI pun mengembangka sayapnya ke berbagai universitas, perguruan tinggi dan akademi di seluruh nusantara (Dr H Agussalim Sitompul, Menyatu dengan Umat, Menyatu dengan Bangsa, Pemikiran Keisalam Keindonesiaan HMI (1947-1997), halaman 2, April 2002). Dalam perjalanannya pun, HMI terus-menerus mengembangkan sikap-sikap intelektualnya secara independen. Oleh Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI (1951-1953) Dahlan Ranuwihardjo pernah memperdebatkan tentang konsep negara Islam. Ketika itu Dahlan mengirim surat kepada Bung Karno sebagai Presiden RI untuk menolak negara Islam dan menerima negara nasional atau disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh Bung Karno, saat Dies Natalis Universitas Indonesia (UI), menyampaikan, penghargaan atas pendapat HMI terhadap permasa lahan tentang negara Islam yang saat itu diperdebatkan (Sudirman Tebba, Kembalikan HMI Sebagai Gerakan Intelektual, Visi Kita, Nomor 15/Th.VI/Agustus 2005.
Nur Cholish Madjid atau Cak Nur pernah berdebat dengan Profesor HM Rasyidi, mantan Menteri Agama I RI, atas gagasannya tentang sekularisme dan modernisme yang disebutnya bukan westernisme. Gagasannya tentang ?Islam yes, partai Islam no,? juga mendapat reaksi dari berbagai kalangan. Bahkan Cak Nur pernah berdebat segitiga dengan Mohamad Roem dan Amien Rais tentang tulisannya di Panji Masyarakat tentang ?Tidak Ada Negara Islam?. Dari perdebatan tersebut, akhirnya antara Cak Nur yang saat itu berada di Amerika Serikat dan Mohamad Roem di Indonesia melakukan surat menyurat atau korespondensi dalam memperdebatkan gagasan Cak Nur. Pada tahun 1992, Cak Nur pun pernah berdebat dengan Dr Daud Rasyid di Masjid Sunda Kelapa yang dikenal begitu kritis dan sangat menentang pengembangan pemikiran sekularisme dan modernisme serta pluralisme di dalam Islam. Daud Rasyid yang pernah aktif di HMI Komisariat Fakultas Syari?ah IAIN Sumatera Utara tak segan-segan mengeritik pemikiran seniornya yang dianggapnya dapat membahayakan aqidah umat. Di dalam HMI, tradisi menghargai perbedaan pendapat, kemerdekaan berpikir, interaksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, merupakan nilai-nilai identitas kader (NIK) atau belakangan disebut nilai dasar perjuangan (NDP). Inti NDP HMI yaitu menegaskan nilai-nilai ketauhidan, keimanan (keyakinan), dan penghargaan nilai-nilai kemanusiaan (nilai-nilai universal keadilan, persamaan dan kesederajatan) sebagai individu dan social, merupakan jati diri HMI.
Dalam konteks itulah, HMI sesungguhnya harus hadir dalam gerak dan dinamika zaman yang senantiasa mengedepankan gerakan intelektualnya dalam bingkai nilai-nilai keislaman, dan kemanusiaan dan kebangsaan. Tradisi perbedaan pendapat di kalangan HMI tentulah tak dapat dipisahkan dari pesan-pesan nilai-nilai ajaran Islam, yaitu al-Qur?an dan Sunnah Rasul, sebagai pedoman dan tuntunan. Pedoman dalam perbedaan pendapat begitu sempurna dilukiskan al-Qur?an dan Hadis Rasulullah Muhammad SAW. Sebagaimana pesan Allah SWT dalam Qur?an Surat 16 (An-Nahl) ayat 125 berbunyi, ? Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (tegas dan benar) dan pelajaran yang baik. Dan bantahlah mereka (berdialog/berdiskusi) dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.? Dalam konteks perbedaan pendapat dengan pemimpin sekalipun, Al-Qur?an begitu indah memberi pesannya, ?Hai orang-orang yang beriman, ta?atilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan pemimpin (ulil amri) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur?an) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.? (QS 4 (Annisa) 59).
Nabi Muhammad SAW pun memberikan teladan, bahwa perbedaan pendapat di tengah umat sesuatu rahmat, ?ikhtilaful ummati rahmat?. Nabi pernah mengingatkan sahabat yang hendak pergi ke Bani Qainuqa, agar melaksanakan salat sebelum sampai ke tujuan. Oleh sahabat, perkataan Rasul itu, dilaksanakan beragam oleh para sahabat. Ada yang me ngerjakan salah di tengah jalan, dan ada yang sudah sampai ke tujuan. Ketika kembali ke Madinah, lalu hal itu diceritakan, oleh Nabi keduanya dibenarkan. Abu Bakar Sidiq pernah memerintahkan untuk memerangi nabi-nabi palsu yang mengaku dirinya sebagai nabi. Oleh Umar bin Khattab, kebijakan Abu Bakar tidak disetujui. Tapi, Abu Bakar menegaskan ke Umar, soal akidah harus diselesaikan secara tegas. Oleh Umar, kebijakan Abu Bakar akhirnya dapat dipahami dan dihargainya.

*)Surya Makmur Nasution, mantan aktivis HMI Cabang Medan.
Posted by www.hmikotaro.or.id

Tidak ada komentar: