Sabtu, 11 Oktober 2008

KETIKA DAMAI ITU INDAH

YUS EFENDI

Kekerasan demi kekerasan hadir kembali di Headline beberapa media Aceh, kekerasan yang dipicu pertikaian akibat konflik ini kembali mengiris luka lama perjalanan negeri ini. Alhasil, korban kembali berjatuhan akibat Aktor Intelektual yang menginginkan negeri ini kembali berkubang dengan derita akan kekejaman konflik bersenjata. Rakyat sepertinya merasa bosan melihat realita perjalanan Aceh yang selalu membumbui diri dengan jeratan masalah akibat konflik, entah kapan mereka tersadarkan dan bertaubat untuk menjerumuskan diri dengan masalah-masalah yang meresahkan penghuni negeri ini.

Konflik telah melumatkan berbagai sendi-sendi kehidupan negeri ini, yang terwariskan hanyalah dendam yang tak berujung akhir dan berbekas tak mengenal zaman. Kejadian Atu Lintang, Aceh Tengah beberapa minggu lalu kembali memiriskan ingatan kita bagaimana anak negeri tak pernah merasa lelah mengumbar permusuhan, yang hadir hanyalah sisi negative dimana korban manusia kembali berjatuhan. Nampaknya para pelaku konflik masa lalu butuh konseling psikologi untuk mampu menetralisir denyut-denyut jeratan dendam yang hadir saat mereka dalam pergulatan konflik masa lalu. Namun, bukan pekerjaan mudah untuk kembali mencari sebuah pencerahan baru guna mengembalikan spirit membangun negeri ini yang hancur akibat derita konflik. Rakyat Aceh sudah hadir dengan semangat keberanian tinggi akibat trauma konflik, sehingga semua permasalahan harus terselesaikan dengan bumbu-bumbu kekerasan.

Akankah pelaku konflik baru ini tersadar, bahwa apa yang mereka lakukan pasca perjanjian damai Helsinki akan menghadirkan dendam-dendam baru, sehingga berujung pada konflik jilid baru yang secara tidak langsung akan merusak tatanan negeri ini yang sudah tertata rapi dengan kedamaian yang dirasakan rakyat pasca perjanjian damai Helsinki. Butuh kesungguhan untuk membangun kembali rasa aman bagi rakyat yang telah merasakan suatu bangunan keceriaan akibat proses damai tersebut, sehingga denyut perekonomian sebagai tatanan penting bagi rakyat dalam menata hidupnya dapat berjalan normal dan terhindar dari berbagai ketakutan-ketakutan akibat akibat perbuatan oknum-oknum yang hanya ingin berselimut dendam.

Akhirnya kita hanya bisa berdoa, semoga para pembawa bencana itu insaf dan mau berpikir positif bahwa sebuah makna perdamaian itu begitu mahal di raih, sehingga butuh keseriusan dalam berbagai pihak untuk menjaga perdamaian ini. Apresiasi kita berikan untuk Gubernur Irwandi-Nazar yang dengan kebijakannya telah mampu mempertahankan nilai-nilai perdamaian ini sebagai sebuah bangunan kokoh untuk dipelihara dan dijaga sehingga terciptalah sebuah tatanan kehidupan yang menjadi dambaan segenap rakyat di Nanggroe Aceh Darussalam… Banda Aceh, 18 Maret 2008
Penulis adalah Sekretaris Umum BADKO HMI ACEH

Senin, 05 November 2007

HMI Sebagai Gerakan Intelektual

Salah satu kekuatan yang dimiliki Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sejak dilahirkan 5 Februari 1947 lalu, adalah tradisi intelektualitasnya atau kecendekiaannya. Jargon sebagai organisasi gerakan pembaru atau gerakan intelektual melekat dalam diri HMI. Cita-cita menjadikan HMI sebagai ?inetelektual yang ulama, atau ulama yang intelektual,? adalah salah satu misi suci HMI. Ciri gerakan intelektual yang dikembangkan HMI adalah menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran dan kebajikan, kejujuran dan keadilan, serta penghargaan atas perbedaan pendapat. Atas dasar itulah, sejak HMI dilahirkan di Tanah Air, sikap kritisnya terhadap persoalan kebangsaan, kemahasiswaan dan keislaman, menyatu dalam aktivitasnya sebagai komunitas intelektual (intelectual community ).
Penegasan HMI sebagai gerakan intelektual tertuang dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga HMI yang bertujuan, menjadikan kadernya (Islam) sebagai insan akademis dan pengabdi yang mendorong cita-cita untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang adil dan makmur dalam ridho Allah SWT.Tradisi intelektualitas HMI sudah dibuktikan lewat sejarahnya. Dalam perjalanan pendirian HMI yang dipelopori oleh almarhum Lafran Pane, diwarnai pro dan kontra. Sebagian kalangan berpendapat, pendirian HMI dituduh sebagai pemecah-belah mahasiswa, seperti dilontarkan oleh Persyarikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY), sebuah organisasi yang berdiri tahun 1946. Reaksi ini muncul karena PMY berbeda idelogis, yaitu berhaluan komunisme, sedangkan HMI, Islam. Bahkan, setelah HMI berdiri (lebih kurang 14 bulan) reaksi yang sama juga dilontarkan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) yang didirikan di Jakarta 2 Oktober 1945, dan dari Pelajar Islam Indonesia (PII) yang berdiri di Yogya 4 Mei 1947, yang menyatakan tak perlu mendirikan organisasi kemahasiswaan secara khusus, karena memecah belah mahasiswa.
Menghadapi reaksi tersebut, HMI melancarkan gerakan intelektual dengan mendatangkan penceramah untuk mendiskusikan tentang perlunya gagasan meningkatkan kesadaran ideologi , politik dan organisasi mahasiswa Islam. Tokoh yang diundang antara lain, Ismail Banda MA, Mr Ali Sastroamidjojo dan dosen-dosen Sekolah Tinggi Islam (embrio UII). Dari cerama-ceramah tersebut, hasilnya disebarkan di kalangan mahasiswa dan masyarakat sehingga HMI dengan cepat populer namanya di nusantara. HMI pun mengembangka sayapnya ke berbagai universitas, perguruan tinggi dan akademi di seluruh nusantara (Dr H Agussalim Sitompul, Menyatu dengan Umat, Menyatu dengan Bangsa, Pemikiran Keisalam Keindonesiaan HMI (1947-1997), halaman 2, April 2002). Dalam perjalanannya pun, HMI terus-menerus mengembangkan sikap-sikap intelektualnya secara independen. Oleh Ketua Umum Pengurus Besar (PB) HMI (1951-1953) Dahlan Ranuwihardjo pernah memperdebatkan tentang konsep negara Islam. Ketika itu Dahlan mengirim surat kepada Bung Karno sebagai Presiden RI untuk menolak negara Islam dan menerima negara nasional atau disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh Bung Karno, saat Dies Natalis Universitas Indonesia (UI), menyampaikan, penghargaan atas pendapat HMI terhadap permasa lahan tentang negara Islam yang saat itu diperdebatkan (Sudirman Tebba, Kembalikan HMI Sebagai Gerakan Intelektual, Visi Kita, Nomor 15/Th.VI/Agustus 2005.
Nur Cholish Madjid atau Cak Nur pernah berdebat dengan Profesor HM Rasyidi, mantan Menteri Agama I RI, atas gagasannya tentang sekularisme dan modernisme yang disebutnya bukan westernisme. Gagasannya tentang ?Islam yes, partai Islam no,? juga mendapat reaksi dari berbagai kalangan. Bahkan Cak Nur pernah berdebat segitiga dengan Mohamad Roem dan Amien Rais tentang tulisannya di Panji Masyarakat tentang ?Tidak Ada Negara Islam?. Dari perdebatan tersebut, akhirnya antara Cak Nur yang saat itu berada di Amerika Serikat dan Mohamad Roem di Indonesia melakukan surat menyurat atau korespondensi dalam memperdebatkan gagasan Cak Nur. Pada tahun 1992, Cak Nur pun pernah berdebat dengan Dr Daud Rasyid di Masjid Sunda Kelapa yang dikenal begitu kritis dan sangat menentang pengembangan pemikiran sekularisme dan modernisme serta pluralisme di dalam Islam. Daud Rasyid yang pernah aktif di HMI Komisariat Fakultas Syari?ah IAIN Sumatera Utara tak segan-segan mengeritik pemikiran seniornya yang dianggapnya dapat membahayakan aqidah umat. Di dalam HMI, tradisi menghargai perbedaan pendapat, kemerdekaan berpikir, interaksi sosial dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, merupakan nilai-nilai identitas kader (NIK) atau belakangan disebut nilai dasar perjuangan (NDP). Inti NDP HMI yaitu menegaskan nilai-nilai ketauhidan, keimanan (keyakinan), dan penghargaan nilai-nilai kemanusiaan (nilai-nilai universal keadilan, persamaan dan kesederajatan) sebagai individu dan social, merupakan jati diri HMI.
Dalam konteks itulah, HMI sesungguhnya harus hadir dalam gerak dan dinamika zaman yang senantiasa mengedepankan gerakan intelektualnya dalam bingkai nilai-nilai keislaman, dan kemanusiaan dan kebangsaan. Tradisi perbedaan pendapat di kalangan HMI tentulah tak dapat dipisahkan dari pesan-pesan nilai-nilai ajaran Islam, yaitu al-Qur?an dan Sunnah Rasul, sebagai pedoman dan tuntunan. Pedoman dalam perbedaan pendapat begitu sempurna dilukiskan al-Qur?an dan Hadis Rasulullah Muhammad SAW. Sebagaimana pesan Allah SWT dalam Qur?an Surat 16 (An-Nahl) ayat 125 berbunyi, ? Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (tegas dan benar) dan pelajaran yang baik. Dan bantahlah mereka (berdialog/berdiskusi) dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.? Dalam konteks perbedaan pendapat dengan pemimpin sekalipun, Al-Qur?an begitu indah memberi pesannya, ?Hai orang-orang yang beriman, ta?atilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan pemimpin (ulil amri) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur?an) dan Rasul (sunnah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.? (QS 4 (Annisa) 59).
Nabi Muhammad SAW pun memberikan teladan, bahwa perbedaan pendapat di tengah umat sesuatu rahmat, ?ikhtilaful ummati rahmat?. Nabi pernah mengingatkan sahabat yang hendak pergi ke Bani Qainuqa, agar melaksanakan salat sebelum sampai ke tujuan. Oleh sahabat, perkataan Rasul itu, dilaksanakan beragam oleh para sahabat. Ada yang me ngerjakan salah di tengah jalan, dan ada yang sudah sampai ke tujuan. Ketika kembali ke Madinah, lalu hal itu diceritakan, oleh Nabi keduanya dibenarkan. Abu Bakar Sidiq pernah memerintahkan untuk memerangi nabi-nabi palsu yang mengaku dirinya sebagai nabi. Oleh Umar bin Khattab, kebijakan Abu Bakar tidak disetujui. Tapi, Abu Bakar menegaskan ke Umar, soal akidah harus diselesaikan secara tegas. Oleh Umar, kebijakan Abu Bakar akhirnya dapat dipahami dan dihargainya.

*)Surya Makmur Nasution, mantan aktivis HMI Cabang Medan.
Posted by www.hmikotaro.or.id

Minggu, 04 November 2007

HMI, Harapan Masyarakat Indonesia

"HARI ini adalah rapat pembentukan Organisasi Mahasiswa Islam karena semua persiapan maupun perlengkapan yang diperlukan sudah beres." Demikian prakata Prof Lafran Pane membuka rapat pendirian Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), 59 tahun silam. Hari itu, Rabu, 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan 5 Februari 1947 M. Rapat yang berlangsung di salah satu ruang kuliah STI (sekarang UII) Yogyakarta, disaksikan Husein Yahya (mantan Dekan Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) yang seharusnya mengajar kuliah tafsir, mengesahkan berdirinya HMI.

Organisasi ini ternyata mendapatkan sambutan hangat tidak hanya dari kalangan mahasiswa Islam, melainkan dari seluruh elemen bangsa. Itu terbukti dengan ucapan Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam sambutannya pada peringatan 1 tahun berdirinya HMI, 5 Februari 1948. Dalam kesempatan tersebut Jenderal Sudirman mengatakan, "HMI hendaknya benar-benar HMI, jangan sampai suka menyendiri." Bagi Pak Dirman, HMI yang benar bukan hanya Himpunan Mahasiswa Islam, melainkan Harapan Masyarakat Indonesia.

Sejarah Panjang
Sebagaimana tertera dalam tujuan pendiriannya, HMI terlibat langsung dalam menjaga dan mengisi kemerdekaan bangsa. Mulai dari pergulatan pemikiran sampai pengorbanan fisik. Luka dan bahagia bangsa adalah luka dan bahagia HMI. Perjuangan HMI telah menorehkan tinta dalam sejarah bangsa Indonesia. HMI sebagai salah satu organisasi pemuda-mahasiswa di negeri ini memiliki posisi yang khas. Didirikan untuk membina kader di kalangan generasi muda Islam. HMI juga merupakan tempat penempaan kader-kader bangsa dan umat Islam.Dengan peran perkaderannya, HMI berhasil menjadi organisasi kemahasiswaan terbesar di negeri ini, kader-kadernya menjadi pelopor untuk mengemban amanah umat dan bangsa Indonesia. Dalam perjalanannya, hampir di setiap kampus ditemukan kader HMI. Namun kendala yang dihadapi, baik masalah internal maupun eksternal, telah mengakibatkan HMI tertatih dalam mengemban amanah ini. Persentuhannya dengan kekuasaan membuat HMI mengalami problem, terutama ketika alumninya menduduki jabatan dalam struktur kekuasaan negara.Persentuhan HMI dengan kekuasaan ditengarai telah mencederai independensi gerakannya. Selain itu ruang gerak HMI di kampus juga mengalami penyempitan dengan kebijakan akademik yang terlalu mengekang kebebasan berekspresi mahasiswa. Perlahan ketika independensi ditengarai berkurang dan ruang gerak menjadi makin sempit, HMI harus mengalami konflik internal akibat pemaksaan penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya azas menggantikan azas Islam yang telah menjadi azas HMI sejak didirikan 5 Februari 1947.
Friksi internal ini berkembang sehingga melahirkan kepengurusan ganda sampai hari ini. Satu faksi dikenal dengan nama HMI (DIPO), sementara faksi lain disebut HMI (MPO). Dualisme struktural HMI ini makin memperparah kemerosotan peran dan partisipasi HMI dalam gerakan mahasiswa pada khususnya dan dalam mengawal amanah umat serta bangsa pada umumnya. Melalui momentum milad HMI ke-59 ini selayaknya HMI kembali ke peran-perannya, tentu setelah menyelesaikan problem internalnya.Hal paling mendasar yang penting dilakukan oleh HMI (DIPO) dan HMI (MPO) adalah, adanya kerangka berpikir bukan mencari siapa yang salah dan benar, melainkan mencari solusi terbaik. Sudah saatnya dualisme struktural ini diselesaikan dengan bersama-sama menghilangkan arogansi oposisional kedua pihak untuk saling membuka diri dalam sebuah dialog yang sederajat dan saling menghargai, sebab dualisme struktural HMI adalah realitas yang harus diterima sebagai kenyataan, betapa pun pahitnya. Yang lebih penting adalah kehendak dan dorongan untuk melakukan unifikasi HMI selayaknya lahir dari rahim masing-masing pelaku sejarah HMI hari ini, bukan dari pihak ketiga (termasuk senior dan alumni). Atau jangan sampai kehendak suci ini hanya menjadi "bualan" politik para kandidat ketua umum Pengurus Besar HMI menjelang kongres (termasuk kongres ke-25 HMI (DIPO) di Makassar).
Setelah itu, kehendak ini perlu diturunkan dalam langkah konkrit organisasional di internal masing-masing, baik HMI (DIPO) maupun HMI (MPO) agar upaya unifikasi tidak terkesan dipaksakan oleh elite HMI.Intelektualitas Selain mengatasi dualisme struktural, HMI penting memperhatikan bangunan nilai organisasi, termasuk upaya serius membangun kembali independensi dengan membangun kemandirian lembaga, baik konsepsional maupun finansial. Sehingga penting memantapkan kembali roh intelektualitas, spiritualitas, dan independensi gerakan HMI.Sebuah organisasi hanya akan bertahan dan membangun masa depan kalau mampu melahirkan dan membina kadernya menjadi kaum intelektual.Kaum intelektual adalah mereka yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk membangun visi masa depan serta mempunyai skill memadai sehingga bangunan pemikiran yang dimilikinya bukanlah sebuah utopia melainkan sebuah alur dialektis antara wacana dan aksi.
Demikian pula HMI, bila ingin bertahan hidup di masa depan haruslah mengedepankan nilai-nilai intelektualitas dalam gerak organisasinya. Intelektual yang harus dibangun HMI bukanlah intelektual melempem, melainkan intelektual yang kritis dan bertanggung jawab atau kritis-progresif. Intelektual yang tidak hanya mampu menyuarakan aspirasi kritis kepada negara tetapi dituntut memiliki kapasitas intelektual yang mampu memberikan kontribusi terhadap perubahan sistem keindonesiaan secara ilmiah. Intelektual yang memiliki daya pemikiran seperti ditekankan oleh Karl Marx muda yang diperkuat Max Horkhaimer bahwa ilmu pengetahuan seharusnya bersifat praksis untuk kepentingan umat manusia dan tidak berkembang untuk kepentingan dirinya sendiri.Gerakan intelektual bagi HMI secara internal juga dibutuhkan untuk kembali mempersentuhkan ide dan gagasan intelektual HMI dengan masyarakat akademis (kampus). Ini menuntut pergeseran model gerakan intelektual di wilayah epistemologis harus dikembangkan sampai ke wilayah akademis, sehingga HMI mampu kembali membangun basis akademik bervisi profetis.Di samping kualitas intelektualitas kadernya, hal lain yang perlu dimiliki HMI adalah nilai spiritualitas. Ini penting karena secara sadar HMI telah mendasarkan gerakannya pada nilai-nilai Islam yang menjadi agama mayoritas masyarakat Indonesia di mana HMI berada.
Sebuah gerakan yang tidak mengetahui basis gerakannya adalah gerakan yang bakal tumbang dan tidak akan melahirkan perubahan apa-apa.Muatan spiritualitas pada gerak aktivitas HMI juga akan memberi daya hidup yang lebih abadi karena roh yang melandasi perjuangannya bukan hanya hal-hal yang bersifat material melainkan sesuatu yang lebih suci, sesuatu yang bersifat ukhrawi. Dengan muatan ini gerakan HMI akan hadir sebagai gerakan (kemahasiswaan) yang bervisi sosial, namun tetap bisa berpijak pada nilai dasar keislamannya.Terakhir, HMI sebagai gerakan pemuda-mahasiswa pembaru wajib menjaga independensi gerakannya yang merupakan harga mati bagi sebuah gerakan pembaruan apabila ingin tetap konsisten mempertahankan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Pola hubungan konfliktual ataukah partisipatif dengan pihak eksternal HMI ditentukan oleh kesamaan visi perjuangan serta nilai yang diperjuangkan dan tidak terletak pada kesamaan identitas material belaka.Bahkan lebih jauh daripada itu, independensi bagi HMI dipahami sebagai aktualisasi tauhid di wilayah organisastoris. Ini merupakan sebentuk keyakinan bahwa semua kebenaran berasal dari Allah dan akan memperjuangkannya tanpa kenal menyerah serta akan memihak kepada siapapun yang memihak dengan kebenaran ini.
Sebaliknya, HMI juga menolak segala nilai kebatilan dan menolak segala bentuk kerja sama dengan pembela kemungkaran dan pelaku kerusakan di muka bumi.Dengan mengedepankan nilai-nilai intelektualitas, spiritualitas, dan independensi dalam kongres HMI (DIPO) ke-25 di Makassar, mudah-mudahan kongres ini tidak hanya memberi harapan bagi aktivis dan kader HMI (DIPO), tetapi juga bagi saudara kembarnya HMI (MPO).Bahkan kongres ini seharusnya tidak hanya memberi harapan bagi komunitas keluarga besar HMI tetapi bagi kita semua, rakyat Indonesia. Semoga kongres ini mengembalikan HMI menjadi HMI (Harapan Masyarakat Indonesia).Harapan ini akan terwujud bila kita semua kembali mematrikan dalam batin masing-masing bahwa HMI hadir bukan untuk menjadi milik seseorang atau sekelompok orang melainkan menjadi aset bangsa Indonesia.Mari merenungkan pesan Pak Dirman untuk semua warga HMI, "Bergembira jugalah senantiasa dalam bekerja dan berjuang." Yakin usaha sampai. Hidup HMI.
Posted by Harian Tribun Timur Makassar