Minggu, 04 November 2007

HMI, Harapan Masyarakat Indonesia

"HARI ini adalah rapat pembentukan Organisasi Mahasiswa Islam karena semua persiapan maupun perlengkapan yang diperlukan sudah beres." Demikian prakata Prof Lafran Pane membuka rapat pendirian Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), 59 tahun silam. Hari itu, Rabu, 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan 5 Februari 1947 M. Rapat yang berlangsung di salah satu ruang kuliah STI (sekarang UII) Yogyakarta, disaksikan Husein Yahya (mantan Dekan Fakultas Adab IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) yang seharusnya mengajar kuliah tafsir, mengesahkan berdirinya HMI.

Organisasi ini ternyata mendapatkan sambutan hangat tidak hanya dari kalangan mahasiswa Islam, melainkan dari seluruh elemen bangsa. Itu terbukti dengan ucapan Panglima Besar Jenderal Soedirman dalam sambutannya pada peringatan 1 tahun berdirinya HMI, 5 Februari 1948. Dalam kesempatan tersebut Jenderal Sudirman mengatakan, "HMI hendaknya benar-benar HMI, jangan sampai suka menyendiri." Bagi Pak Dirman, HMI yang benar bukan hanya Himpunan Mahasiswa Islam, melainkan Harapan Masyarakat Indonesia.

Sejarah Panjang
Sebagaimana tertera dalam tujuan pendiriannya, HMI terlibat langsung dalam menjaga dan mengisi kemerdekaan bangsa. Mulai dari pergulatan pemikiran sampai pengorbanan fisik. Luka dan bahagia bangsa adalah luka dan bahagia HMI. Perjuangan HMI telah menorehkan tinta dalam sejarah bangsa Indonesia. HMI sebagai salah satu organisasi pemuda-mahasiswa di negeri ini memiliki posisi yang khas. Didirikan untuk membina kader di kalangan generasi muda Islam. HMI juga merupakan tempat penempaan kader-kader bangsa dan umat Islam.Dengan peran perkaderannya, HMI berhasil menjadi organisasi kemahasiswaan terbesar di negeri ini, kader-kadernya menjadi pelopor untuk mengemban amanah umat dan bangsa Indonesia. Dalam perjalanannya, hampir di setiap kampus ditemukan kader HMI. Namun kendala yang dihadapi, baik masalah internal maupun eksternal, telah mengakibatkan HMI tertatih dalam mengemban amanah ini. Persentuhannya dengan kekuasaan membuat HMI mengalami problem, terutama ketika alumninya menduduki jabatan dalam struktur kekuasaan negara.Persentuhan HMI dengan kekuasaan ditengarai telah mencederai independensi gerakannya. Selain itu ruang gerak HMI di kampus juga mengalami penyempitan dengan kebijakan akademik yang terlalu mengekang kebebasan berekspresi mahasiswa. Perlahan ketika independensi ditengarai berkurang dan ruang gerak menjadi makin sempit, HMI harus mengalami konflik internal akibat pemaksaan penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya azas menggantikan azas Islam yang telah menjadi azas HMI sejak didirikan 5 Februari 1947.
Friksi internal ini berkembang sehingga melahirkan kepengurusan ganda sampai hari ini. Satu faksi dikenal dengan nama HMI (DIPO), sementara faksi lain disebut HMI (MPO). Dualisme struktural HMI ini makin memperparah kemerosotan peran dan partisipasi HMI dalam gerakan mahasiswa pada khususnya dan dalam mengawal amanah umat serta bangsa pada umumnya. Melalui momentum milad HMI ke-59 ini selayaknya HMI kembali ke peran-perannya, tentu setelah menyelesaikan problem internalnya.Hal paling mendasar yang penting dilakukan oleh HMI (DIPO) dan HMI (MPO) adalah, adanya kerangka berpikir bukan mencari siapa yang salah dan benar, melainkan mencari solusi terbaik. Sudah saatnya dualisme struktural ini diselesaikan dengan bersama-sama menghilangkan arogansi oposisional kedua pihak untuk saling membuka diri dalam sebuah dialog yang sederajat dan saling menghargai, sebab dualisme struktural HMI adalah realitas yang harus diterima sebagai kenyataan, betapa pun pahitnya. Yang lebih penting adalah kehendak dan dorongan untuk melakukan unifikasi HMI selayaknya lahir dari rahim masing-masing pelaku sejarah HMI hari ini, bukan dari pihak ketiga (termasuk senior dan alumni). Atau jangan sampai kehendak suci ini hanya menjadi "bualan" politik para kandidat ketua umum Pengurus Besar HMI menjelang kongres (termasuk kongres ke-25 HMI (DIPO) di Makassar).
Setelah itu, kehendak ini perlu diturunkan dalam langkah konkrit organisasional di internal masing-masing, baik HMI (DIPO) maupun HMI (MPO) agar upaya unifikasi tidak terkesan dipaksakan oleh elite HMI.Intelektualitas Selain mengatasi dualisme struktural, HMI penting memperhatikan bangunan nilai organisasi, termasuk upaya serius membangun kembali independensi dengan membangun kemandirian lembaga, baik konsepsional maupun finansial. Sehingga penting memantapkan kembali roh intelektualitas, spiritualitas, dan independensi gerakan HMI.Sebuah organisasi hanya akan bertahan dan membangun masa depan kalau mampu melahirkan dan membina kadernya menjadi kaum intelektual.Kaum intelektual adalah mereka yang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk membangun visi masa depan serta mempunyai skill memadai sehingga bangunan pemikiran yang dimilikinya bukanlah sebuah utopia melainkan sebuah alur dialektis antara wacana dan aksi.
Demikian pula HMI, bila ingin bertahan hidup di masa depan haruslah mengedepankan nilai-nilai intelektualitas dalam gerak organisasinya. Intelektual yang harus dibangun HMI bukanlah intelektual melempem, melainkan intelektual yang kritis dan bertanggung jawab atau kritis-progresif. Intelektual yang tidak hanya mampu menyuarakan aspirasi kritis kepada negara tetapi dituntut memiliki kapasitas intelektual yang mampu memberikan kontribusi terhadap perubahan sistem keindonesiaan secara ilmiah. Intelektual yang memiliki daya pemikiran seperti ditekankan oleh Karl Marx muda yang diperkuat Max Horkhaimer bahwa ilmu pengetahuan seharusnya bersifat praksis untuk kepentingan umat manusia dan tidak berkembang untuk kepentingan dirinya sendiri.Gerakan intelektual bagi HMI secara internal juga dibutuhkan untuk kembali mempersentuhkan ide dan gagasan intelektual HMI dengan masyarakat akademis (kampus). Ini menuntut pergeseran model gerakan intelektual di wilayah epistemologis harus dikembangkan sampai ke wilayah akademis, sehingga HMI mampu kembali membangun basis akademik bervisi profetis.Di samping kualitas intelektualitas kadernya, hal lain yang perlu dimiliki HMI adalah nilai spiritualitas. Ini penting karena secara sadar HMI telah mendasarkan gerakannya pada nilai-nilai Islam yang menjadi agama mayoritas masyarakat Indonesia di mana HMI berada.
Sebuah gerakan yang tidak mengetahui basis gerakannya adalah gerakan yang bakal tumbang dan tidak akan melahirkan perubahan apa-apa.Muatan spiritualitas pada gerak aktivitas HMI juga akan memberi daya hidup yang lebih abadi karena roh yang melandasi perjuangannya bukan hanya hal-hal yang bersifat material melainkan sesuatu yang lebih suci, sesuatu yang bersifat ukhrawi. Dengan muatan ini gerakan HMI akan hadir sebagai gerakan (kemahasiswaan) yang bervisi sosial, namun tetap bisa berpijak pada nilai dasar keislamannya.Terakhir, HMI sebagai gerakan pemuda-mahasiswa pembaru wajib menjaga independensi gerakannya yang merupakan harga mati bagi sebuah gerakan pembaruan apabila ingin tetap konsisten mempertahankan nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Pola hubungan konfliktual ataukah partisipatif dengan pihak eksternal HMI ditentukan oleh kesamaan visi perjuangan serta nilai yang diperjuangkan dan tidak terletak pada kesamaan identitas material belaka.Bahkan lebih jauh daripada itu, independensi bagi HMI dipahami sebagai aktualisasi tauhid di wilayah organisastoris. Ini merupakan sebentuk keyakinan bahwa semua kebenaran berasal dari Allah dan akan memperjuangkannya tanpa kenal menyerah serta akan memihak kepada siapapun yang memihak dengan kebenaran ini.
Sebaliknya, HMI juga menolak segala nilai kebatilan dan menolak segala bentuk kerja sama dengan pembela kemungkaran dan pelaku kerusakan di muka bumi.Dengan mengedepankan nilai-nilai intelektualitas, spiritualitas, dan independensi dalam kongres HMI (DIPO) ke-25 di Makassar, mudah-mudahan kongres ini tidak hanya memberi harapan bagi aktivis dan kader HMI (DIPO), tetapi juga bagi saudara kembarnya HMI (MPO).Bahkan kongres ini seharusnya tidak hanya memberi harapan bagi komunitas keluarga besar HMI tetapi bagi kita semua, rakyat Indonesia. Semoga kongres ini mengembalikan HMI menjadi HMI (Harapan Masyarakat Indonesia).Harapan ini akan terwujud bila kita semua kembali mematrikan dalam batin masing-masing bahwa HMI hadir bukan untuk menjadi milik seseorang atau sekelompok orang melainkan menjadi aset bangsa Indonesia.Mari merenungkan pesan Pak Dirman untuk semua warga HMI, "Bergembira jugalah senantiasa dalam bekerja dan berjuang." Yakin usaha sampai. Hidup HMI.
Posted by Harian Tribun Timur Makassar

Tidak ada komentar: